Masalah Pendidikan
Sarana
& Prasarana Pendidikan
Lembaga
pendidikan mengemban misi yang besar dan mulia untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan dianggap sebagai suatu investasi yang paling berharga dalam
bentuk peningkatan kualitas sumber daya insani. Kebesaran suatu bangsa
seringkali diukur dari sejauhmana masyarakatnya mengenyam pendidikan. Semakin
tinggi pendidikan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, maka semakin majulah
bangsa tersebut.
Pendidikan
merupakan upaya manusia untuk memperluas cakrawala pengetahuan dalam rangka
membentuk nilai, sikap, dan perilaku peserta didik. Sebagai upaya yang bukan
saja membuahkan manfaat yang besar, pendidikan juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia yang sering dirasakan belum memenuhi harapan. Hal ini
dirasakan banyak lulusan pendidikan formal yang belum dapat memenuhi kriteria
tuntutan lapangan kerja yang tersedia, apalagi menciptakan lapangan kerja baru
sebagai presentase penguasaan ilmu yang diperolehnya dari lembaga pendidikan.
Kondisi ini merupakan gambaran rendahnya kualitas pendidikan kita.
Banyak
pihak berpendapat bahwa rendahnya mutu pendidikan merupakan salah satu faktor
yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan
keterampilan untuk memenuhi tuntutan pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar
dan perlu dijamin baik secara internasional maupun nasional. Pasal 26 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB 1948 menegaskan pengakuan hak atas pendidikan
oleh bangsa-bangsa di dunia bagi setiap orang. Deklarasi ini kemudian
mengilhami berbagai pembentukan konstitusi di dunia yang semakin mempertegas
pengakuan terhadap HAM, termasuk salah satunya pengakuan terhadap hak atas
pendidikan.
Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak asasi
manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak konstitusional.
Ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (pascaperubahan), khususnya Pasal 28 C
Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Selain ketentuan di
atas, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (pascaperubahan) juga merumuskan bahwa setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, sedangkan pemerintah wajib membiayainya.
Pasal 31 ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk
mengusahakan penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurangkurangnya 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Demikian pula ketentuan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan
jaminan hak atas pendidikan. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk
memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Penegasan
serupa tentang hak warga negara atas pendidikan juga tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
konteks pemenuhan hak atas pendidikan, negara menjadi pihak utama yang
bertanggung jawab untuk menjaminnya.
Banyaknya sekolah rusak baik di
perkotaan maupun di daerah terpencil di Tanah Air seakan telah menjadi isu
dunia pendidikan yang tidak pernah ada habisnya. Berita tentang murid-murid
sekolah yang terpaksa belajar di rumah penduduk karena ruang kelas rusak silih
berganti dikabarkan dari berbagai daerah sehingga mengundang keprihatinan
masyarakat luas.Sekolah-sekolah dengan kondisi rusak berat hingga ringan dengan
dinding ruang kelas yang retak, kayu penyangga yang keropos di makan rayap,
hingga atap jebol telah mengakibatkan kegiatan belajar mengajar di sejumlah SD
negeri menjadi kacau.
Sekolah rusak yang tersebar di
seluruh penjuru Tanah Air lebih banyak didominasi pada bangunan tingkat sekolah
dasar yang merupakan peninggalan dari proyek SD Inpres. Kini setelah puluhan
tahun dengan perawatan tambal sulam, kondisi sekolah rusak di sejumlah daerah
bertambah parah sampai-sampai memaksa murid-muridnya untuk mengungsi ke rumah
penduduk atau di bawah tenda darurat.
Tuntutan ke Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) untuk segera memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak
tidaklah tepat, sebab seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka kebijakan
yang menyangkut bidang pendidikan pun menjadi kewenangan pemerintah provinsi,
kabupaten/kota di masing-masing daerah. Dana untuk rehabilitasi kerusakan
bangunan sekolah sebenarnya sudah diluncurkan sejak tiga tahun terakhir. Namun
karena banyaknya jumlah sekolah yang rusak, maka dana yang ada hanya mampu
menjangkau sebagian sekolah saja sementara masih ada sebagian lainnya yang memerlukan
bantuan.
Berdasarkan data tahun 2003,
terdapat 563.304 ruang kelas SD/MI yang rusak berat atau 64,17 persen dari
877.772 ruang kelas SD/MI. Pada tahun 2003, dialokasikan Rp 625 miliar untuk
merehabilitasi 20.724 ruang kelas SD/MI di 287 kabupaten/kota. Pada tahun 2004,
menjadi Rp 652,6 miliar untuk merehabilitasi 21.645 ruang kelas di 302
kabupaten/kota. Sementara hingga pertengahan 2006, masih terdapat sekitar 56
persen dari total 149.454 SD rusak dengan kondisi rusak berat, menegah dan
ringan.
"Pemerintah pusat masih
terlibat dalam penyaluran dana rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru
namun implementasi termasuk pemeliharaan bangunan menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah," kata Direktur Pembinaan TK dan SD Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Mudjito AK.
Pembiayaan melalui Dana Alokasi
Khusus (DAK) disalurkan ke daerah-daerah untuk rehabilitasi ruang kelas
tersebut diharapkan dapat merangsang partisipasi pemerintah daerah
memperhatikan kondisi pendidikan di daerahnya masing-masing khususnya terkait
dengan infrastruktur sekolah.
Ia mengharapkan agar kerusakan
gedung-gedung sekolah di daerah seharusnya jangan dibiarkan berkembang menjadi
isu nasional, apalagi jika pemerintah daerah bersikap apatis dengan membiarkan
peserta didik menerima keterbatasan pelayanan pendidikan.
Sejumlah pemerintah daerah telah
bersinergi dengan pemerintah pusat dalam masalah perbaikan dan pembenahan
bangunan rusak dengan mengalokasikan sebagian anggarannya.
Program Dana Alokasi Khusus Bidang
Pendidikan dari pemerintah pusat dimaksudkan untuk memberikan peluang
pembelajaran kepada daerah dalam mewujudkan prinsip-prinsip, transparansi,
akuntabiliti dan partisipasi seiring dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah.
Sedangkan bagi sekolah, program DAK
diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu wadah untuk mewujudkan
prinsip-prinsip dasar pengelolaan sekolah dengan Manajeman Berbasis Sekolah dan
Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat sehingga mereka merasa "memiliki"
sekolahnya dan siap mendukung program sekolah.
DAK tersebut nantinya akan didukung
dana dekonsentrasi sebab perbaikan sekolah rusak tidak hanya fisiknya saja
tetapi juga digunakan untuk prasarana lain seperti pembelian buku, bangku dan
meja belajar dan sebagainya.
Pada tahun 2005, presiden Susilo
Bambang Yudoyono berjanji bahwa pemerintah akan memperbaiki seluruh gedung
sekolah yang rusak agar tak ada lagi bangunan yang ambruk. Tapi nampaknya
pemerintah gagal untuk memenuhi janji tersebut.
Pada saat itu, kata pengamat
pendidikan Darmaningtyas, pemerintah akan memperbaiki sekolah-sekolah yang
rusak dalam tempo tiga tahun. Namun kemudian dia mempertanyakan mengapa sampai
sekarang tetap saja banyak sekolah yang bermasalah.
Menurut Darmaningtyas, masalah utama
yang memyebabkan gedung sekolah ambruk adalah konstruksi bangunan yang tidak
kuat. Ditambah lagi, adanya kontraktor yang bermain curang dalam
pembangunannya. Bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah buatan Belanda,
bangunan sekolah sekarang memang masih kalah jauh. Bahan yang dipilih untuk
bangunan pada zaman itu benar-benar berkualitas dan pengerjaannya
sunguh-sungguh. Tapi, sekarang lebih mementingkan kecepatan sehingga
mengabaikan kualitas. Bahkan, pembangunan sekolah kini dikerjakan subkontraktor,
bukan kontraktor pemegang tender. Keadaan ini diperburuk dengan adanya para
kontraktor yang kerap “mendompleng” atau “berkerabat” dengan pemerintah daerah.
Tahun ini, pemerintah telah
mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20,4 triliun untuk memperbaiki gedung
sekolah sehingga tak ada lagi sekolah yang rusak. Namun pada kenyataannya, ada
153 ribu sekolah Inpres yang dibangun sejak 1970an membutuhkan rehabilitasi.
Pelaksana Tugas Dirjen Pendidikan
Dasar Kemendiknas Suyanto menyebutkan, pemerintah akan membangun kembali
110.598 ruang kelas SD dan 42.428 ruang SMP yang rusak berat. Namun tahun ini
yang baru bisa direalisasikan sebanyak 6.721 ruang kelas SD dan 1.050 ruang
kelas SMP. Selebinya dijanjikan pada tahun anggaran 2012.
No Response to "KAPITA SELEKTA"
Posting Komentar